
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Psikolog dari Universitas Indonesia Prof Rose Mini Agoes Salim menyatakan perempuan dari kalangan ekonomi menengah ke bawah kerap kesulitan untuk keluar dari pernikahan yang toksik. Terutama ketika mereka berada dalam relasi yang timpang dan bergantung sepenuhnya pada pasangan secara finansial.
“Kalau dalam pernikahan itu salah satu pihak, dalam hal ini suami, melakukan tindakan tidak baik dan perkawinan menjadi toksik, maka memang harus ada keberanian untuk keluar. Tapi tidak semua perempuan berani, mereka yang finansial sepenuhnya bergantung ke suami biasanya sulit keluar,” kata Rose saat dihubungi Republika.co.id pada Senin (8/9/2025).
Pernyataan ini disampaikan Rose menanggapi peristiwa tragis yang terjadi di Bandung, di mana seorang ibu berinisial EN (34 tahun) bunuh diri bersama kedua anaknya. EN diduga tidak sanggup lagi menghadapi tekanan dari suaminya yang kerap berbohong dan memiliki banyak utang.
Rose mengatakan banyak perempuan dalam situasi tersebut tidak mampu keluar dari pernikahan yang merugikan karena minimnya rasa percaya diri, kurangnya keterampilan hidup (life skill), serta ketidaksiapan mental dalam menghadapi konflik rumah tangga. “Kalau istri sudah sangat bergantung secara ekonomi, apalagi dalam budaya yang menempatkan suami sebagai pemegang kuasa penuh, maka istri sering merasa tidak punya ruang untuk bersuara, bahkan ketika diperlakukan tidak adil,” kata dia.
Lantas bagaimana cara perempuan lepas dari pernikahan toksik? Menurutnya perempuan harus bisa berdaya. Sebelum menikah, kata Rose, setiap perempuan harus dipastikan siap secara mental dan memiliki keterampilan.
Menurutnya, banyak pasangan terutama yang menikah di usia muda, belum memiliki gambaran tentang tantangan yang akan dihadapi setelah menikah. Sebagian dari mereka menganggap pernikahan sebagai solusi atas masalah hidup, padahal realitasnya justru bisa menambah tekanan jika tidak dibekali persiapan yang matang.
Rose juga menyoroti pentingnya kemandirian ekonomi bagi perempuan. la menyarankan agar perempuan tetap memiliki kegiatan produktif, seperti usaha kecil atau berjualan online agar tidak sepenuhnya bergantung pada suami dalam hal finansial.
Tak hanya itu, Rose menekankan perempuan juga perlu memiliki keterampilan hidup (life skill). Life skill mencakup kemampuan dasar untuk bertahan dalam situasi sulit, mulai dari berpikir kritis, mengidentifikasi masalah, mencari informasi, hingga menjalin komunikasi yang sehat dengan orang lain.
“Kalau tidak dibekali life skill, seseorang hanya akan melihat masalah sebagai jalan buntu. Dia tidak tahu harus berbuat apa, tidak mencari cara keluar. Padahal mungkin ada solusi jika dia mau berbicara, bertanya, atau mencari bantuan,” ujar Prof Rose.