Memupuk Kopi, Memanen Energi di Tapal Batas Bandung Barat

by -22 Views
by
banner 468x60

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG BARAT — Dari satu tegukan, Opan Sopandi (54) merangkai cita dan asa. Pria asal Desa Tangsi Jaya, Kecamatan Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat itu mencurahkan cintanya pada kopi yang tumbuh subur di wilayah tersebut.

banner 336x280

Bersama 200 petani kopi di Tangsi Jaya yang merupakan tapal batas Bandung Barat dengan Ciwideuy, Kabupaten Bandung itu, Opan menyemai lalu menanam, memanen hingga mengolah kopi hingga menghasilkan rasa unik dan khas yang tentunya memiliki cita rasa berkualitas.



Kopi dari petani Tangsi Jaya itu sudah menembus pasar Eropa, Amerika hingga Timur Tengah.

Kisah jatuh cintanya Opan kepada “permata hitam” dari Gununghalu itu dibagikan kepada Republika di sebuah bangunan yang dijadikan Koperasi Rimba Lestari.

Di sanalah kopi-kopi yang dipanen petani diolah dengan memanfaatkan energi terbarukan yang aromanya tercium ke kancah dunia. Sayang, Republika tak berkesempatan menyaksikan panen raya karena belum waktunya.

Opan berkisah, biji kopi yang ditanam di Gununghalu, termasuk Tangsi Jaya yang berada pada ketinggian 1.400 mdpl itu sudah ada sejak zaman Belanda. Sehingga kopi telah menjadi bagian dari budaya dan sejarah kopi di Bandung Barat, bahkan di Jawa Barat. Wilayah pegunungan dan dataran tinggi wilayah selatan Bandung Barat memang ideal untuk budidaya kopi.

“Kalau kata sesepuh, kopi di Tangsi Jaya umumnya di Gununghalu sudah ada sejak zaman Belanda, dulunya hanya kopi robusta atau disebutnya kopi alam. Makanya dinamakan Tangsi mungkin merujuk dulunya tempat pengumpulan kopi,” tutur Opan ketika memulai perbincangan dengan Republika, belum lama ini.

Khusus Opan, ia mulai menanam kopi di perkampungan paling ujung di tapal batas itu pada 2009. Di lahan sekitar 1 hektare miliknya, tumbuh subur sekitar 2.000-2.500 batang kopi campuran arabika dan robusta. “Paling banyak kalau saya yang arabika, kalau robusta paling pinggir-pinggirnya,” ucapnya.

Tanaman kopi miliknya itu tumbuh subur dan sehat. Selain karena faktor alam yang begitu mendukung, pemberian pupuk baik kimia maupun non kimia juga tidak bisa dikesampingkan. Namun Opan biasanya lebih banyak menggunakan pupuk non kimia atau organik seperti kompos.

“Kalau saya pakai pupuk kandang, enggak disemprot. Pupuk kimia seperti NPK pakai juga paling satu tahun 2 kali, itupun tidak di pohon atau daun kopinya, tapi ditaburkan melingkar di bawah tepi tajuk. Total kalau di Tangsi Jaya itu ada 30 hektare kebun kopi,” ujar Opan.

Energi Listrik Rasa Kopi Tangsi Jaya

Hasil panen kopi milik Opan dan petani lainnya diolah di Koperasi Rimba Lestari yang memanfaatkan sumber energi terbarukan secara komunal. Pengolahan kopi arabika dan robusta itu menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Mikdohidro (PLTMH) yang memanfaatkan aliran Sungai Ciputri.

Awalnya, teknologi sederhana untuk mendapatkan listrik melalui kincir air itu dimanfaatkan untuk menerangi rumah-rumah warga di Kampung Tangsi Jaya yang memang di periode tahun 1990-an masih mengandalkan lampu petromaks atau obor.

Harapan untuk menikmati layanan listrik PLN terbentur lokasi dusun dengan topografi berbukit-bukit dan hutan. Asa untuk memiliki cahaya penerangan akhirnya terwujud di tahun 2007 sejak PLTMH dibangun.

PLTMH ini memiliki turbin untuk debit air 400 liter yang menghasilkan listrik 20 ampere, sedangkan yang dialirkan oleh generator ke rumah-rumah warga sebesar 18 ampere. Ada sekitar 80 kepala keluarga (KK) yang masih memanfaatkan pasokan listrik dari PLTMH, meskipun kini ke wilayah tersebut sudah tersambung dengan PLN.

Namun karena biaya yang murah, Rp 25 ribu per bulan untuk biaya perawatan dan insentif operator PLTMH, banyak warga yang masih bertahan. Kemudian pemanfaatan listrik dari turbin itu meluas ketika sekelompok mahasiswa pascasarjana dari salah satu perguruan tinggi melakukan penelitian tahun 2009.

“Jadi awalnya mereka melihat banyak tanaman kopi di sini. Katanya kalau PLTMH ini dimanfaatkan bukan hanya untuk penerangan saja, tapi harus menciptakan usaha produktif berbasis energi terbarukan,” ucap Opan.

Akhirnya Koperasi Rimba Lestari pun dibentuk lengkap dengan badan hukum, di mana Opan didapuk sebagai ketuanya.

Berbarengan dengan itu, sekelompok mahasiswa pascasarjana bersama para petani kopi di Tangsi Jaya mengajukan bantuan perlengkapan pengolah kopi kepada perusahaan asal Jepang, Mitsui & Co. Petani yang tergabung di Koperasi Rimba Lestari mendapatkan peralatan lengkap untuk mengolah kopi.

Dari mulai mesin pulper untuk mengupas biji kopi basah, mesin huller untuk mengupas kulit dari kopi kering, mesin grader untuk menyortir dan mengelompokan biji kopi berdasarkan ukuran, mesin washer untuk membersihkan biji kopi, mesin roasting untuk mengubah biji kopi mentah menjadi sangrai dan mesin bubuk atau grinder untuk menggiling biji kopi sangrai menjadi bubuk halus siap seduh.

“Jadi mesin pengolah kopinya alhamdulillah dapat bantuan lengkap plus sama bangunannya juga. Dibangunnya itu tahun 2017, jadi prosesnya lumayan,” kata Opan, sambil menunjukan mesin pengolah kopi.

Tantangan Berat Buka Pasar Kopi dari Ujung Tapal Batas

Proses mengolah kopi arabika dan robusta di Koperasi Rimba Lestari menggunakan energi terbarukan akhirnya dimulai. Di mana mesin-mesin yang ada itu mulai berjalan mengolah kopi dengan memanfaatkan aliran listrik dari PLTMH yang sangat bergantung dengan air.

Kopi yang diolah merupakan hasil panen dari para petani di Tangsi Jaya, termasuk milik Opan yang dalam semusim bisa menghasilkan 1-2 ton.

“Tapi dari luar koperasi juga ada yang ngirim ke sini. Misalnya dari kampung sebelah. Panennya itu setahun sekali kalau kopi, tapi masa panennya panjang. Kalau arabika mulai Maret April Mei sampai Juni karena petik merah, disambung dengan robusta mulai Juli,” sebut Opan.

Semangat untuk mendongkrak roda perekonomian petani kopi di Tangsi Jaya tentunya tidak mudah. Mengusung brand “Tangsi Jaya”, Opan mengaku awalnya kesulitan untuk menjual kopi khas Gununghalu dari Tangsi Jaya itu. Produksi kopi dalam semusim ketika itu hanya 20-25 ton berbentuk ceri.

Omzet yang didapat Opan bersama petani lainnya ketika itu diperkirakan Rp 300 juta. Nominal itu menurut ceritanya minus dibandingkan biaya operasional lantaran kopinya tidak terjual semua. Mereka pun harus merugi bertahun-tahun karena masih minimnya pasar untuk menampung “permata hitam” khas Tangsi Jaya itu.

Titik terang untuk mendapat pasar lebih luas akhirnya mulai terbuka ketika ada sekelompok mahasiswa magang di masa pandemi COVID-19 memberikan ide dan gagasan. Sejak saat itu situasinya berubah drastis, dimana kapasitas produksi kopi setiap tahunnya terus naik.

Semakin tumbuh dan berkembangnya bisnis kedai dan kafe turun mendongkrak kopi “Tangsi Wangi”.

Bahkan, kapasitas produksi kopi dari petani Koperasi Rimba Lestari itu tak sebanding permintaan dari konsumen yang bukan hanya berasal dari Jawa Barat saja. Tapi meluas hingga keluar daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur dan lainnya.

“Awal kebukanya di Bogor, alhamduillah terus kebuka ke daerah lain. Produksinya juga terus naik 30-35, 40 ton dan tahun kemarin sampai 75 ton tahun 2024-2025 cerinya saja. Jumlah itu kalau untuk sekarang belum memenuhi permintaan pasar. Khususnya yang arabika yang lagi banyak permintaannya,” ujar Opan.

Cita Rasa Kopi Tangsi Jaya Sudah Tercium ke Luar Negeri

Aroma kopi yang dihasilkan Opan dan petani Tangsi Jaya tidak tercium di pasar dalam negeri saja, juga sudah sampai ke pasar mancanegara.

Kopi “Tangsi Wangi” itu sudah mengudara ke China hingga Dubai, Uni Emirat Arab. Pasar luar negeri itu terbuka melalui perantara kafe-kafe yang memang memiliki jejaring internasional. “Kapasitasnya tapi belum banyak, 5-20 kilogram ke China. Ke Dubai kemarin 600 kilogram,” tutur Opan.

Naiknya kapasitas produksi dan penjualan tentu saja berdampak terhadap omzet yang dihasilkan dari Koperasi Rimba Lestari yang dikelola para petani kopi di Tangsi Jaya.

Mereka bisa mendapat Rp 1,2 miliar jika menjual biji kopi mentah atau green bean. Perkiraan estimasi omzet kasar itu didapat dari perhitungan 10 ton green bean dikalikan dengan harga Rp 120 ribu per kilogram green bean.

Namun karena stok kopinya masih terbatas, Opan bersama petani lainnya saat ini fokus mengembangkan pengolahan kopi spesialti. Seperti arabika wine, natural, honey, dan fullwash. Bahan Kopi spesialti itu semuanya dihasilkan dari para petani di Tangsi Jaya dan sekitar Gununghalu.

“Kalau penjualan tergantung pesanan dan harga tergantung proses. Kalau ceri kan Rp 15 ribu-Rp 16 ribu per kilo, greenbean mungkin Rp 120 ribu per kilo. Dijualnya kalau yang jauh rata-rata greenbean. Karena kapasitas terbatas, jadi tidak mengolah yang reguler, lebih condong ke spesialti. Ada arabika wine, natural, honey dan fullwash,” terang Opan.

Ia pun membeberkan sisi menarik dari cita rasa kopi asal Gununghalu khususnya Tangsi Jaya sulit didapat dari daerah lain. Menurut Opan, rasa kopi “Tangsi Wangi” dominan orange banana. “Ciri khasnya dari rasa pink banana, kalau dari sini orange banana paling menonjol,” ujarnya.

Usai kopi “Tangsi Wangi” membumi di pasar dalam negeri hingga luar negeri, Opan kini berharap brand itu dipatenkan dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) agar terlindungi oleh hukum. Pihaknya sudah berupaya, namun belum berbuah hasil.

Ia juga berharap masyarakat agar menjaga kelestarian alam agar tanaman kopi tetap tumbuh subur, serta peduli terhadap sungai yang menjadi “bahan bakar” penggerak untuk mengolah kopi.

Keunikan cita rasa kopi asal Tangsi Jaya, Gununghalu diakui Restu Syauqi (35), pria asal Padalarang. Ia mengaku sengaja datang jauh-jauh hanya untuk neneguk kopi ‘Tangsi Wangi’ yang dihasilkan para petani yang tergabung dalam Koperasi Rimba Lestari ini.

“Pada dasarnya saya suka sekali kopi, dan ini baru pertama kali nyoba yang khusus dari Tangsi Jaya. Rasanya unik, kaya ada buah-buahannya (fruity),” tutur dia.

Dengan keunikan rasa ini, Restu tak heran kopi asal Gununghalu pada umumnya bisa digemari di berbagai penjuru Indonesia, bahkan sudah sampai ke mancanegara. Ia berharap tanaman kopi di pelosok Bandung Barat ini tetap berkelanjutan dan lestari.

banner 336x280

No More Posts Available.

No more pages to load.