
REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPORE — Kepala Dewan Ekonomi Nasional Luhut B Pandjaitan menghadiri Singapore Energy Week (SIEW) pada pekan ini. Di salah satu forum tingkat tinggi yang membahas soal masa depan reaktor nuklir di Asia Tenggara, Luhut menjadi pembicara utama. Di situ Luhut mengatakan karena Indonesia negara kepulauan, maka jenis teknologi nuklir yang cocok dikembangkan adalah reaktor modular. Luhut secara spesifik menyebut Indonesia Timur sebagai lokasi, bilamana Indonesia mulai menerapkan pembangkit listrik nuklir tersebut.
Apa itu reaktor nuklir modular? Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) rupanya sudah membahas soal reaktor modular ini beberapa kali pada tahun lalu. Pada 7 Maret 2024, Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN, Rohadi Awaludin mengenalkan Small Modular Reactor dan beberapa riset terkait perkembangan teknologi nuklir.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Hal itu disampaikannya pada acara “Regional Workshop on Reactor Physics, System Thermal Hydraulics and Safety of Small Modular Reactors for Near-term Deployment” yang diselenggarakan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) berkolaborasi dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama dengan International Atomic Energy Agency (IAEA), Senin (4/3).
Dikutip dari laman IAEA, Small Modular Reactor atau SMR secara definitif merupakan pembangkit tenaga listrik menggunakan reaktor nuklir secara modular dan mampu menghasilkan 300 Megawatt per unitnya. Berkaca pada ukurannya yang kecil membuat SMR menjadi pilihan praktis dan dapat disebarkan secara merata ke berbagai wilayah.
“Small Modular Reactor, ukurannya dibawah 300 megawatt dan dari SMR ini bentuknya modular jadi dapat diproduksi lebih cepat karena bentuknya modular serta lebih fleksibel tempatnya serta pemasangannya. Karena indonesia ini berbentuk kepulauan, jadi kita bisa memasang SMR di beberapa titik di tambah dengan power plant yang besar,” kata Rohadi dalam rilis BRIN.
Dikatakan Rohadi, melalui acara ini juga pihaknya berharap dapat informasi terbaru terkait global development of nuclear energy. BRIN juga mendorong berbagai pihak di dalam maupun luar negeri ini seperti IAEA, ITB dan beberapa badan usaha dalam negeri, serta menghimpun stakeholder kenukliran di Indonesia.
BRIN memiliki dua peran dalam mendorong perkembangan teknologi nuklir. Pertama, BRIN mendukung dan mendorong agar PLTN atau reaktor komersial dibangun oleh badan usaha atau entitas bisnis. “Kalau yang non-komersial itu BRIN dapat melakukan sendiri tentunya juga bersama dengan mitra. Komersial dan non komersial kita himpun di sini. Untuk itu kita juga dorong perguruan tinggi seperti ITB melahirkan SDM baru di bidang kenukliran agar semakin produktif,” kata Rohadi.
Kepala Pusat Riset Teknologi Reaktor Nuklir, Topan Setiadipura menambahkan bahwa BRIN akan mencoba mengembangan Small Modular Reactor dengan HTGR (High temperature Gas-Cool Reactor). “Dalam diskusi kita sepakat dalam waktu dekat akan menguji Light Water Reactor. Namun, tetap kita pada tahap selanjutnya akan menguji coba HTGR,” ujar Topan.
Topan menyebutkan dalam melakukan pengembangan ini, pihaknya juga mengajak berbagai pihak untuk berkolaborasi. Ketua Pelaksana Acara, Prof Sidiq Permana menjelaskan bahwa acara ini diharapkan dapat memperkaya gagasan terkait penggunaan renewable energi dan tenaga nuklir di Indonesia secara keberlanjutan.
Energi Nuklir sudah menjadi prioritas renewable energy bagi negara Indonesia. Maka dari itu, pemerintah Indonesia telah menargetkan Net Zero Emission (NZE) tahun 2030 dan 2060 yang telah direncanakan melalui beberapa skenario.
“Pada tahun 2060 diantara renewable energy itu termasuk kontribusi yang tinggi sekitar hingga 54 Gigawatt elektrik yang jauh lebih besar dari energi baru yang lain. Nuklir akan menjadi role utama dalam penyuplai energi di Indonesia,” tegas Prof. Sidiq.
sumber : Rilis












