Dzikir dan Shalawat, Dinilai Bisa Persatukan Bangsa Indonesia yang Berada dalam Kebhinekaan

by -25 Views
banner 468x60

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG–Di tengah dinamika kehidupan bangsa, masyarakat sering dihadapkan pada ujian kebersamaan, baik dalam bentuk perbedaan pandangan politik, gesekan sosial, hingga krisis moral. Dalam situasi seperti ini, nilai-nilai spiritualitas menjadi penting sebagai pengikat persaudaraan.

banner 336x280

Kepala Biro AUPK dan PLT Kepala Biro A2KK UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Ajam Mustajam mengatakan,



salah satu jalan yang diwariskan para ulama nusantara adalah dzikir dan shalawat tradisi yang bukan hanya menghubungkan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga merekatkan cinta kepada Rasulullah dan tanah air.

Indonesia sendiri, kata dia, faktanya berdiri di atas mozaik keragaman, lahir dari keseragaman, dari perbedaan yang dirajut dalam satu cita. Yakni, merdeka, adil, dan bermartabat. Keragaman ini adalah berkah sekaligus tantangan. Karena, bisa menjadi sumber kekuatan luar biasa, tetapi juga bisa berubah menjadi potensi perpecahan jika tidak dikelola dengan bijak.

“Pertanyaan mendasarnya adalah, apa yang mampu menjaga kebangsaan ini tetap utuh ketika politik memecah, ekonomi menekan, dan media sosial meruncingkan perbedaan? Jawaban yang sering terabaikan datang dari ruang spiritualitas, adalah shalawat dan dzikir kebangsaan,” ujar Ajam, akhir pekan ini.

Ajam menilai, tradisi religius ini bukan hanya ritual keagamaan, tetapi sebuah ekspresi sosial spiritual yang menyalakan kesadaran kebangsaan, menyatukan, meneduhkan, dan mengingatkan bahwa bangsa ini berdiri bukan hanya di atas kontrak politik, tetapi juga ikatan nilai dan doa.

Mencintai Rasulullah, kata Ajam, bukan sekadar mengagumi sosok historis, tetapi meneladani akhlak dan perjuangannya. Karena, Rasulullah hadir sebagai rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin), mengajarkan kasih sayang, keadilan, dan penghormatan terhadap keberagaman. Dalam konteks kebangsaan, cinta Rasul menuntun umat untuk menjaga persatuan, karena Rasulullah menolak perpecahan dan menekankan ukhuwah, baik ukhuwah Islamiyah, wathaniyah, maupun basyariyah.

Keteladanan Rasul yang penuh kasih sayang, kata dia, dapat menjadi fondasi moral bangsa. Jika cinta Rasul tertanam, maka akan tumbuh pula sikap tawadhu, adil, dan kepedulian terhadap sesama tanpa memandang suku, agama, atau golongan. “Dalam pandangan Islam, cinta kepada Rasulullah adalah konsekuensi dari cinta kepada Allah. Al quran menegaskan: ‘Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’ (QS. Ali Imran: 31). Ayat ini menegaskan bahwa cinta Rasul bukan sekadar ekspresi emosional, melainkan jalan teologis menuju ridha Allah. Meneladani Nabi adalah bentuk nyata penghambaan,” paparnya.

Rasulullah, kata dia, adalah representasi nilai ilahiah dalam kehidupan manusia. Cinta kepadanya berarti menghidupkan akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari: kasih sayang, keadilan, kesabaran, dan keberanian moral. Dalam konteks kebangsaan, cinta Rasul menjadi sumber etika publik. Seorang pemimpin yang mencintai Nabi akan meneladani amanah dan kejujuran. Seorang rakyat yang mencintai Nabi akan meneladani kesabaran dan ketekunan bekerja.

“Cinta Rasul adalah landasan teologis dapat membentuk moralitas kolektif sebuah bangsa. Sementara dalam perspektif sosiologis, cinta Rasul berfungsi sebagai modal sosial yang mengikat komunitas, melahirkan gerakan sosial yang transformatif,” katanya.

Menurutnya, ulama Nusantara menjadikan cinta kepada Nabi sebagai inspirasi perjuangan melawan penjajahan. KH Hasyim Asy’ari, kata dia, memobilisasi resolusi jihad dengan semangat ‘Jika kita mencintai Rasul, maka kita harus membela tanah air dari penjajah’. “Begitu juga Buya Hamka menulis bahwa cinta Nabi berarti membebaskan manusia dari penindasan, baik politik maupun ekonomi. Cinta Rasul bukan hanya nilai spiritual, tetapi juga energi sosial untuk perubahan,” katanya.

banner 336x280

No More Posts Available.

No more pages to load.