
Oleh RAKHMAD ZAILANI KIKI;Kepala Lembaga Peradaban Luhur (LPL)
REPUBLIKA.CO.ID, Penyebab aksi massa di banyak daerah di Indonesia, terutama di Jakarta, yang diwarnai dengan kerusuhan dan perusakan fasilitas umum serta penjarahan rumah-rumah pejabat, terlepas dari ada yang menungganginya untuk kepentingan politik tertentu, dari beberapa hasil riset dan analisis, seperti Monash Data & Democracy Research Hub, karena adanya kekecewaan dan frustrasi rakyat terhadap ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi yang begitu tajam antara rakyat dengan para pejabatnya.
Data kemiskinan, mau yang versi BPS atau versi World Bank, keduanya sudah jauh-jauh hari menunjukan jumlah orang miskin begitu banyak di Indonesia yang seharusnya menjadi sinyal bagi para pejabat, baik di pusat maupun di daerah, di legislatif, eksekutif maupun yudikatif, untuk lebih sensitif dan menahan diri dalam mengambil kebijakan menaikan tunjangan untuk mereka apalagi mempertontonkan gaya hidup dan kekayaan mereka yang sumbernya dari pajak rakyat.
Rakyat sebelumnya memaklumi bahwa kondisi ekonomi di Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja, rakyat juga menyetujui diambilnya langkah-langkah efisiensi oleh Pemerintah Pusat di semua kementerian dan lembaga; namun ketika efisiensi diiringi dengan kenaikan pajak sampai ratusan bahkan ribuan persen di daerah-daerah sambil menaikan tunjangan para pejabat di legislatif, bagi rakyat itu sudah melewati batas moralitas dan akal sehat.
Rakyat merasa tidak sedang bersama pemimpin yang harusnya memahami dan hidup bersama mereka, tapi sedang berhadapan dengan penjajah dan perampas kekayaan mereka dari bangsanya sendiri.
Rakyat pun marah, aksi massa meledak. Jumlah yang marah dan melakukan aksi ini di berbagai daerah di Indonesia memang belumlah banyak, total jumlahnya belum sampai jutaan atau puluhan juta, tapi mereka cukup mewakili rakyat keseluruhan. Itu pun sudah membuat pemerintah maupun wakil rakyat di pusat maupun daerah kelabakan menghadapinya, apalagi belum ada tanda-tanda aksi massa akan berhenti karena tuntututannya belum banyak yang dipenuhi.
Jika aksi massa ini terus terjadi, jalan roda perekonomian bangsa ini bukan hanya melambat, tapi bisa tergelincir jatuh ke jurang kehancuran. Namun, bagi rakyat miskin yang sudah frustrasi, mereka tidak peduli lagi dengan masalah ekonomi bangsa ini karena ekonomi mereka sudah lebih dulu hancur. Surat seorang ibu dari Banjaran, Bandung, Jawa Barat yang membunuh dua putranya yang masih kecil dengan racun dan dia kemudian bunuh diri, adalah potret dari kemiskinan akut dan frustrasi rakyat yang kemarahannya tidak dengan turun ke jalan, tapi dengan mengakhiri kehidupannya sendiri.
Dan juga jangan sampai rakyat yang sudah terlanjur marah dalam kemiskinan akut dan frustras ada di satu keinginan kolektif: Ya sudah, mari kita hancur bersama sekalian!
Karenanya, tidak banyak waktu yang tersisa dari bangsa ini untuk menormalisasi keadaan. Ibarat penyakit tumor yang sudah menyebar ke mana-mana, pengobatannya haruslah lebih esktrim: Para pejabat di pusat maupun daerah perlu melakukan pertobatan massal, mengamputasi semua kebijakan yang tidak pro rakyat, hidup sederhana dan hiduplah bersama rakyat, bila perlu sesekali live- in agar rakyat kembali memiliki pemimpinnya dan bersemangat penuh, bergotong-royong membangun dan memajukan bangsa dan negara ini.