Ibu di Era Digital: Kekerabatan yang Tak Pernah Offline

by -18 Views
by
banner 468x60

Oleh: Yulianti *) 

banner 336x280

Survei tahun 2022 yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan, aplikasi pesan seperti WhatsApp digunakan hampir semua pengguna internet di Indonesia—lebih dari 98 persen responden mengaku memakainya untuk kebutuhan sehari-hari. Artinya, sebagian besar percakapan keluarga—dari yang ringan sampai yang sangat penting—kini mengalir lewat aplikasi obrolan.



Sejalan dengan itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan bahwa perubahan pola komunikasi dan meningkatnya kesepian serta isolasi sosial, terutama pada orang dewasa dan lansia, telah menjadi isu kesehatan masyarakat yang serius. Di tengah perubahan ini, ibu justru sering menjadi pihak yang paling cepat beradaptasi. Penelitian tentang keluarga digital menunjukkan bahwa orang dewasa dan lansia memakai teknologi komunikasi bukan sekadar untuk “ikut zaman”, tetapi untuk mempertahankan kedekatan dengan anak dan cucu.

Aplikasi seperti WhatsApp menjadi jembatan penting komunikasi antargenerasi dalam keluarga di berbagai negara. Hänninen, Taipale, dan Luostari (2021) juga menunjukkan bahwa orang tua sering mengandalkan warm experts—biasanya anak dan cucu—untuk belajar menggunakan gawai dan aplikasi, agar tetap tersambung dengan keluarga mereka.

Proses belajar itu tentu tidak selalu mulus. Banyak ibu memulai dengan mengetik pelan, salah menempel stiker, bingung mencari ikon emoji, atau panik ketika pesan terkirim ke orang yang salah. Namun perlahan, mereka menemukan ritmenya sendiri: pesan singkat, emoji hati, voice note beberapa detik, atau foto sederhana yang dikirim di sela aktivitas pagi dan malam. Isyarat-isyarat kecil inilah yang akhirnya menjadi bahasa kasih yang relevan di era digital.

Penelitian tentang emoji menunjukkan bahwa simbol-simbol kecil itu bukan sekadar hiasan. Tinjauan sistematis yang dilakukan Bai et al. (2019) merangkum bagaimana emoji membantu menyampaikan emosi dan nuansa hubungan dalam pesan digital. Studi lain oleh Boutet et al. (2021) menemukan bahwa emoji dapat memengaruhi bagaimana pesan emosional ditafsirkan dan bagaimana kita menilai hubungan sosial di ruang digital.

Riordan (2017) bahkan menyebut emoji sebagai alat emotion work—cara halus untuk mengirimkan kehangatan, dukungan, atau kedekatan lewat teks. Tidak heran jika pesan ibu yang hanya terdiri dari dua atau tiga kata bisa terasa sangat menyentuh: di balik kesederhanaannya, ada kerja emosional yang terus berlangsung.

Dari kacamata Communication Accommodation Theory (CAT), ibu adalah sosok yang paling sering melakukan akomodasi konvergen—menyesuaikan gaya komunikasinya dengan generasi muda agar pesan tetap tersampaikan. Mereka belajar menggunakan emoji agar tidak disalahpahami sebagai marah. Mereka memilih stiker lucu agar pesan terasa lebih hangat. Mereka mengirim voice note karena tahu anak-anak lebih cepat mendengarkan daripada membaca paragraf panjang.

Pada saat yang sama, studi tentang penggunaan TIK pada orang dewasa menunjukkan bahwa adaptasi teknologi ini sangat heterogen: ada yang cepat sekali belajar, ada yang pelan dan penuh ragu, ada yang butuh dukungan intensif dari keluarga. Dalam konteks keluarga, dukungan anak dan cucu untuk “mengajari” ibu memakai gawai tidak sekadar transfer pengetahuan, tetapi juga bagian dari proses saling merawat di antara generasi.

Namun adaptasi bukan satu-satunya yang terjadi. Ibu juga melakukan negosiasi komunikasi. Mereka menegur ketika anak terlalu sibuk dengan ponsel saat kumpul keluarga, meminta anggota keluarga memeriksa ulang berita sebelum menyebarkannya, atau mengingatkan agar tidak mengumbar konflik rumah tangga di media sosial. Di sinilah tampak bahwa ibu tidak sekadar mengikuti arus digital, tetapi juga berusaha menjaga norma, etika, dan batas-batas privasi keluarga.

Dalam dunia komunikasi keluarga modern, ruang digital berperan sebagai ruang rawat emosi. Penelitian Hämmerle et al. (2020) mengenai penggunaan WhatsApp pada lansia menunjukkan bahwa percakapan digital dapat memperkuat kualitas hubungan sosial dan mengurangi rasa kesepian, terutama ketika keluarga tinggal berjauhan. Studi lain tentang keluarga digital menegaskan bahwa komunikasi melalui media sosial dan aplikasi pesan dengan anggota keluarga dapat berhubungan dengan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi, baik pada orang muda maupun lansia.

Di Indonesia, di mana banyak keluarga terpisah oleh pekerjaan dan urbanisasi, ruang digital menjadi tali pengikat yang tak tergantikan. Pesan ibu seperti “Hati-hati ya” atau “Jangan lupa makan” mungkin terdengar remeh bagi sebagian orang, tetapi bagi anak rantau, pesan-pesan itu adalah pengingat bahwa mereka tetap punya rumah untuk kembali. Dalam teori komunikasi keluarga, perhatian yang dikirim berulang—meski hanya lewat pesan singkat—dapat menumbuhkan felt security, rasa aman emosional yang tidak ditentukan oleh jarak fisik, tetapi oleh kepedulian yang konsisten.

Islam memberikan bingkai yang indah bagi peran ini. Hadis yang menempatkan “ibumu, ibumu, ibumu, lalu ayahmu” sebagai urutan prioritas bakti, bukan hanya penekanan moral, tetapi juga pengakuan atas besarnya peran emosional dan sosial yang dipikul seorang ibu. Kasih sayang seorang ibu—rahmah—hari ini menemukan bentuk barunya: bukan hanya melalui sentuhan dan tatapan, tetapi juga lewat notifikasi yang muncul di layar ponsel.

Karena itu, pesan singkat dari ibu di era digital bukan sekadar kombinasi huruf dan ikon. Ia adalah bentuk silaturahmi yang dijaga, bentuk perhatian yang terus dikirim meski tubuh kelelahan, dan bentuk kasih sayang yang beradaptasi dengan zaman. Teknologi tidak menghapus makna itu; justru memperluas jangkauannya. Ibu bisa mendoakan anaknya yang berada di kota lain, mengingatkan cucu yang kuliah di luar negeri, atau menenangkan hati keluarga yang sedang dilanda masalah—semuanya lewat jaringan sinyal yang tak kasat mata.

Hari Ibu bukan hanya ajang nostalgia dan unggahan foto lama, tetapi momen untuk menyadari betapa besar usaha ibu menyesuaikan diri dengan dunia digital agar keluarga tetap merasa dekat. Ia belajar mengoperasikan gawai, menyesuaikan bahasa, bernegosiasi dengan anak dan cucu, serta memastikan rumah tetap hangat meski percakapan banyak berlangsung lewat layar.

Keluarga mungkin terpencar, tinggal di kota dan negara berbeda, tetapi ibu hampir selalu menemukan cara untuk merapatkan hati-hati itu kembali. Kadang lewat panggilan video singkat, kadang lewat emoji hati, kadang lewat pesan sederhana: “Udah makan? Istirahat ya.” Kalimat-kalimat pendek yang menjaga keluarga tetap utuh.

Karena kekerabatan yang dijaga, ibu memang tidak pernah benar-benar offline. Ia hidup dalam perhatian-perhatian kecil yang dikirim setiap hari, melintasi jarak, melintasi generasi, melintasi layar yang diam-diam menjadi jembatan kasih di era digital.

*) Yulianti adalah dosen dan peneliti komunikasi, Universitas Islam Bandung

banner 336x280

No More Posts Available.

No more pages to load.