
Oleh : Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin, M.Si*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ada satu kalimat dari Presiden Prabowo Subianto yang terus menggemuruh dalam ingatan saya—kalimat yang bukan hanya tajam, tapi juga menelanjangi kenyataan:
“Ketika perang nuklir pecah, negara pemilik nuklir memang akan hancur lebih dulu. Tapi kita juga akan mati—bedanya, matinya belakangan.”
Ini bukan sekadar kutipan. Ini peringatan dari tepi jurang sejarah. Hari ini dunia sedang duduk di atas bara, dan ada cukup bensin global untuk menyulut apokalips dalam waktu yang tidak terbayangkan. Kita tengah berhadapan dengan ketegangan yang bahkan melebihi krisis-krisis geopolitik sebelumnya—dan kita tidak boleh berpura-pura aman hanya karena tidak memegang tombol peluncur.
Dunia Pernah Hampir Hancur Sekali, Dan Kini Lebih Berbahaya
Mari mundur ke Oktober 1962. Ketika Amerika Serikat dan Uni Soviet berhadapan dalam Krisis Rudal Kuba, dunia menahan napas selama 13 hari. Uni Soviet menempatkan rudal nuklir jarak menengah di Kuba—hanya 145 km dari daratan AS. Amerika langsung merespons dengan blokade laut dan persiapan serangan militer penuh. Pada puncaknya, kedua negara itu memiliki lebih dari 6.000 hulu ledak nuklir aktif—cukup untuk menghancurkan bumi berkali-kali lipat.
Namun, dunia diselamatkan oleh satu hal: komunikasi langsung antara dua pemimpin besar. John F. Kennedy dan Nikita Khrushchev—meskipun berbeda ideologi—masih punya ruang untuk saling mendengar. Di sanalah diplomasi menjadi benteng terakhir dari kiamat yang mengintai. Hanya melalui surat pribadi, bujuk rayu, dan sikap kenegarawanan, perang dunia ketiga berhasil dihindari.
Bandingkan dengan hari ini. Dunia memiliki lebih dari 13.400 hulu ledak nuklir. Tapi komunikasi antar pemimpin global lebih banyak diwarnai sindiran Twitter yang sekarang jadi platform politisi bernama X, ego nasionalistik, dan diplomasi yang dipertontonkan demi citra, bukan demi keselamatan. Kita telah kehilangan nalar damai, dan menggantinya dengan algoritma konflik.
Sebagian orang berkata: “Syukurlah Indonesia tidak punya bom nuklir.” Tapi mari saya tegaskan: ketidakpunyaan itu bukan semata kelemahan. Justru di situlah letak kemuliaannya. Blessing in what is so called “limitation”. Indonesia ada di jalan yang lebih suci—tidak mempersenjatai dirinya dengan pemusnah massal, melainkan dengan kredibilitas moral yang tak ternoda.
Apa gunanya punya bom jika sejarah mencatat tangan kita bersih dari darah bangsa lain? Selama 79 tahun merdeka, Indonesia tidak pernah menyerang, menjajah, atau mendikte bangsa lain. Dan dalam dunia yang terbelah oleh kekuatan koersif, justru nilai-nilai seperti inilah yang menjadi currency yang paling langka: kepercayaan. Kita tidak punya senjata pemusnah massal, tapi kita punya warisan kepemimpinan yang membawa perdamaian, bukan kehancuran.
Radiasi dari bom nuklir tidak akan bertanya apakah kita netral atai berpihak. Perang ekonomi akibat konflik global tidak memilih siapa yang kaya atau miskin. Maka Indonesia pun harus bersikap. Bukan dengan mengangkat senjata, tapi mengangkat harkat diplomasi sebagai instrumen penyelamat manusia.
Dari Soekarno ke Prabowo: Nafas Diplomasi yang Tak Pernah Padam
Diplomasi bukanlah sekadar alat formal dalam hubungan internasional. Ia adalah jiwa dari sejarah Indonesia. Ketika dunia terbelah menjadi dua blok—Barat dan Timur—Presiden Soekarno berdiri tegak dan menggagas Gerakan Non-Blok. Bukan karena takut memilih, tapi karena Indonesia percaya pada dunia yang tidak harus tunduk pada dikotomi palsu. Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung adalah bukti bahwa suara negara-negara Selatan bisa menggema dan mengguncang dunia, tanpa peluru, tanpa ultimatum.
Jalan itu terus dijaga oleh generasi berikutnya. Dari Ali Alatas yang mendamaikan Kamboja, ke Hassan Wirajuda yang membawa Indonesia menjadi juru runding perdamaian di Aceh. Kita adalah bangsa yang selalu percaya bahwa kata-kata bisa menyelamatkan lebih banyak nyawa daripada senjata.
Hari ini, ketika dunia sedang panas, Prabowo Subianto berdiri sebagai kelanjutan dari narasi itu. Kunjungannya ke Singapura dan Moskow bukan langkah biasa. Itu adalah taruhan besar seorang pemimpin yang melihat bahwa perdamaian tidak datang dengan menunggu, tapi dengan bergerak. Di tengah ketegangan global, Prabowo hadir bukan sebagai juru selamat, tapi sebagai pengingat: bahwa ada jalan lain yang tidak ditempuh banyak orang, yakni jalan kesatria yang mengedepankan dialog di atas dominasi.
Ketika ia berbicara dengan Presiden Putin, ia tidak membawa agenda partisan. Ia membawa identitas Indonesia—sebuah bangsa yang pernah menolak tunduk pada kolonialisme, dan kini menolak tunduk pada logika kekerasan.
Dalam perang nuklir, tidak ada pemenang. Hanya ada yang hancur lebih dulu, dan yang hancur belakangan. Maka pertanyaan besarnya adalah: apakah kita akan diam? Ataukah kita akan mengulangi sejarah kita yang pernah membuat dunia menoleh dan mendengar?
Mungkin hari ini langkah kita terasa kecil. Tapi percayalah: diplomasi yang sejati selalu dimulai dari keberanian untuk menyapa saat yang lain membisu, untuk hadir saat yang lain menghindar. Prabowo telah melakukan itu. Dan sejarah akan mengingatnya.
Jika suatu hari dunia hampir binasa, dan sejarah ditulis kembali oleh generasi yang tersisa, mungkin akan ada satu paragraf yang berbunyi:
“Ketika dunia nyaris musnah oleh ledakan senjata, ada satu bangsa yang berseru dengan tenang: hentikan. Bangsa itu bernama Indonesia.”
Jika benar itu terjadi, maka itulah momen di mana kita, yang tak punya bom atom, justru menyelamatkan umat manusia—dengan kehormatan, bukan kehancuran.
* Ketua DPP Partai Golkar (Kebijakan Politik Luar Negeri & Hubungan Internasional), Anggota Komisi 1, Komisi Pertahanan DPR RI 2004-2009