Jakarta –
Nama Aipda Ferry Alamsyah menjadi polisi yang paling melekat di hati masyarakat Baduy di antara banyaknya Bhabinkamtibmas yang bertugas di sana. Julukan ‘Polisi Baduy’ pun disematkan pada Aipda Ferry karena kedekatannya dengan warga Baduy.
Aipda Ferry sebelumnya telah diberitakan dalam program Hoegeng Corner 2024. Kini Aipda Ferry diusulkan oleh pembaca detikcom sebagai salah satu kandidat dalam program Hoegeng Awards 2025.
detikcom juga menghubungi Arji, salah seorang Ketua RT di Desa Kanekes, Lebak, Banten, untuk mengetahui dedikasi Aipda Ferry kepada masyarakat Baduy. Sejak bertugas sebagai Ketua RT pada 2015, Arji mengatakan hanya Aipda Ferry yang mampu menjalin kedekatan dengan warga Baduy.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Hanya Pak Ferry yang paling bisa mengerti. Pak Ferry setiap minggu kadang bermalam di rumah kami, kadang Cikeusik, kadang keliling ke hutan lindung, ke daerah lindung,” ujar Arji.
ADVERTISEMENT
Arji menuturkan Aipda Ferry selalu membantu warga ketika menghadapi kesulitan. Aipda Ferry juga ikut mengawal pendistribusian bantuan yang diberikan pemerintah kepada warga Baduy.
“Pak Ferry yang paling dekat, tidak ada yang lain,” imbuh Arji.
Selain itu, Arji mengungkap hal yang membedakan Aipda Ferry dengan Bhabinkamtibmas sebelumnya. Menurut Arji, Aipda Ferry bergaul dengan masyarakat Baduy bukan seperti seorang polisi, melainkan seperti bagian dari mereka.
“Belum pernah ketemu Bhabinkamtibmas di Desa Kanekes seperti Pak Ferry, bisa berbagai pemahaman ketika ada kesulitan, berpikir bagaimana solusinya,” ujar Arji.
Cerita Aipda Ferry
Aipda Ferry saat ini bertugas di Polsek Leuwidamar, Polres Lebak, Banten, sebagai Ps Kanit Binmas. Karena keterbatasan anggota, Aipda Ferry lalu ditugaskan juga merangkap sebagai Bhabinkamtibmas di Desa Kanekes.
Untuk diketahui, Desa Kanekes merupakan salah satu desa adat di Banten yang terdiri atas 68 kampung dan terbagi ke dalam 3 kampung Baduy dalam dan 65 kampung Baduy luar. Desa yang mempunyai luas wilayah 5.212,41 hektare itu masih menjunjung tinggi budaya luhur mereka dengan berjalan kaki. Desa ini tidak dilalui oleh kendaraan bermesin, baik roda dua maupun roda empat, dan tidak masuk jaringan listrik.
Aipda Ferry menjelaskan keberadaannya di Desa Kanekes untuk menjaga adat dan budaya agar tetap terjaga dengan baik. Selain itu, dia tidak ingin ada hutan adat yang dirambah dan diserobot oleh masyarakat luar yang tidak memiliki hak di wilayah adat.
“Mendidik dan membiasakan masyarakat dan para pengunjung untuk selalu menjaga kebersihan terkait sampah,” kata Aipda Ferry yang diusulkan oleh Polda Banten dalam program Hoegeng Corner 2024.
Saat bertugas di Desa Kanekes, Aipda Ferry mengaku tidak bisa pulang ke rumah setiap hari. Dia harus rela pulang setiap dua minggu sekali karena wilayah Desa Kanekes yang tidak bisa dijangkau kendaraan.
“Setiap dua minggu sekali saya baru turun ke Polsek, laporan tentang keberadaan saya lalu saya izin pulang. Setelah dua atau tiga hari saya izin ke Polsek, dan langsung ke desa binaan saya. Jadi saya itu hanya 3 hari di rumah, dan memang saya tidak dilibatkan piket ataupun pengamanan lain,” kata Aipda Ferry.
Aipda Ferry mengatakan, dia menjalankan tugasnya di Desa Kanekes sesuai dengan aturan yang ada. Dia mengibaratkan dirinya sebagai penyeimbang.
“Artinya di mana ketika memang si pelaku tersebut orang adat dan korbannya orang adat, berada di daerah adat itu akan dibawa ke ranah hukum adat. Ketika ada permasalahan di luar antara permasalahan orang adat dan orang luar, saya akan mendampingi. Contoh seperti kemarin, perbuatan cabul dengan anak di bawah umur yang terjadi di Tangerang, saya dampingi ke Tangerang,” imbuh dia.
Baduy Dalam dan Baduy Luar
Aipda Ferry menjelaskan perbedaan mengenai Baduy dalam dan Baduy luar di Desa Kanekes. Salah satu ciri khasnya yaitu terlihat dari cara mereka berpakaian.
“Kalau Baduy dalam dari segi pakaian, mereka menggunakan lomar atau ikat kepala warna putih, kalau tidak, hitam. Cuman dua warna hitam atau putih. Pakaian pun sama antara hitam dan putih. Dan mereka tidak menggunakan celana tapi menggunakan samping aros, dan mereka sama sekali tidak bisa menggunakan alat elektronik atau menolak modernisasi,” kata Aipda Ferry.
“Dan satu lagi Baduy dalam, mau ke mana-mana, mau ke Bandung, mau ke Jakarta, mau ke mana pun mereka tidak boleh naik kendaraan,” sambung Ferry.
Sedangkan untuk Baduy luar, mereka menggunakan telekung ikat kepala warna biru hitam. Mereka juga menggunakan baju kampret dan celana pendek.
“Karena di Baduy sendiri tidak boleh menggunakan celana panjang,” tutur Ferry.
Selain itu, kata Ferry, Baduy luar menolak modernisasi. Mereka masih boleh naik kendaraan, tetapi tidak boleh mengendarai dan memiliki.
Selama dua tahun bertugas di Desa Kanekes, Aipda Ferry disebut sangat dekat dengan warga Baduy. Bahkan dia diminta langsung oleh warga Baduy untuk menjadi Bhabinkamtibmas di Desa Kanekes.
“Saya dua kali dipertahankan di Baduy dengan tanda tangan Jaro Tangtu atau perwakilan tiga-tiganya, Puun dan lembaga adat meminta langsung kepada Pak Kapolres dan Kapolda untuk saya menjadi Bhabin di Desa Kanekes,” ujar Aipda Ferry.
Aipda Ferry menceritakan kedekatannya dengan warga Baduy karena dirinya menghilangkan ego saat berkomunikasi dengan mereka. Dia tak sungkan ikut makan bersama hingga tidur bareng warga Baduy.
“Jadi saya memang di sana menghilangkan ego atau pun saya polisi saya hilangkan, saya berbaur dengan mereka. Saya duduk di tanah dengan mereka, duduk di bambu dengan mereka, tidur dengan mereka, apa pun yang mereka makan saya makan,” ujar dia.
Begitu pula ketika ada bantuan masuk ke Baduy, Aipda Ferry diminta untuk ikut melihat langsung. Dia dilibatkan agar bantuan dari pemerintah tepat sasaran.
“Justru sekarang ini, saya menjadi mungkin yang dipercaya masyarakat adat untuk melihat langsung bahkan ikut ketika ada bantuan dari mana pun untuk masyarakat adat, Baduy dalam dan Baduy luar, itu saya langsung ikut, saya dilibatkan,” ucap dia.
Istilah Polisi Baduy
Aipda Ferry juga menjelaskan mengenai awal mula dia disebut sebagai Polisi Baduy. Sebutan itu datang dari warga Baduy karena bentuk kedekatannya selama ini.
“Jadi sebenarnya karena memang Baduy dan masyarakat nyebutnya saya itu. ‘Ini polisi aing, polisi Baduy’, jadi masyarakat sendiri,” ujar Ferry.
Selain itu, sambung Ferry, masyarakat Baduy juga sebelumnya jarang tersentuh oleh polisi. Komunikasi polisi dan warga Baduy sebelumnya hanya sebatas saat kunjungan.
“Kita memang ingin bekerja, karena selama ini beberapa tahun ini jarang terjamah oleh polisi, kecuali memang kunjungan. Kalau nama ada, cuman orangnya tidak pernah tahu, masyarakat Baduy dalam itu tidak pernah tahu polisinya yang mana,” tutur dia.
(knv/aud)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini