Kesalahan Umum Perusahaan Asing dalam Menggunakan Employer of Record di Indonesia

by -22 Views
banner 468x60

Employer of Record (EOR) semakin sering dipilih perusahaan asing sebagai jalan pintas untuk merekrut tenaga kerja di Indonesia tanpa harus segera mendirikan badan usaha lokal. Dengan pasar tenaga kerja yang besar dan proses perekrutan yang relatif cepat, EOR menawarkan solusi yang tampak sederhana di tengah kompleksitas regulasi ketenagakerjaan Indonesia. Namun, di balik kemudahan tersebut, banyak perusahaan justru terjebak pada asumsi yang keliru. Kesalahan dalam memahami peran EOR dan batasan hukumnya dapat berujung pada risiko kepatuhan yang tidak kecil.

Indonesia memiliki kerangka ketenagakerjaan yang relatif formal dan terstruktur, terlebih setelah berbagai pembaruan regulasi pasca-Undang-Undang Cipta Kerja. Dalam konteks ini, EOR bukan sekadar layanan administratif, melainkan bagian dari sistem hukum ketenagakerjaan yang memiliki batasan jelas. Ketika batasan ini diabaikan, potensi sengketa dan kewajiban tak terduga pun muncul.

banner 336x280

Salah satu kesalahpahaman paling umum adalah anggapan bahwa EOR sepenuhnya memindahkan risiko hukum kepada penyedia layanan. Secara formal, EOR memang bertindak sebagai pemberi kerja yang tercatat. Namun, dalam praktik penegakan hukum di Indonesia, hubungan kerja dinilai secara substansial. Perusahaan yang mengendalikan pekerjaan sehari-hari, menetapkan target, dan mengelola kinerja karyawan masih dapat dipandang sebagai pemberi kerja fungsional.

Dalam kasus perselisihan ketenagakerjaan, otoritas sering menilai siapa yang sebenarnya memegang kendali atas hubungan kerja. Artinya, EOR dapat mengurangi risiko, tetapi tidak menghapus tanggung jawab klien sepenuhnya.

Kesalahan lain muncul ketika perusahaan mencoba menggunakan EOR untuk posisi yang secara hukum tidak dapat dialihdayakan. Regulasi ketenagakerjaan Indonesia membedakan antara fungsi inti dan non-inti. Posisi yang berkaitan langsung dengan aktivitas utama perusahaan—seperti penjualan inti, pengembangan produk utama, atau fungsi operasional strategis—sering kali tidak dapat ditempatkan di bawah skema EOR.

Ketika perusahaan memaksakan model EOR untuk peran semacam ini, risiko koreksi administratif dan tuntutan konversi status kerja menjadi karyawan internal menjadi nyata. Dalam beberapa kasus, hal ini dapat memicu kewajiban kompensasi tambahan.

Banyak perusahaan global datang dengan ekspektasi fleksibilitas tinggi, termasuk kontrak jangka pendek atau pemutusan hubungan kerja yang mudah. Indonesia tidak beroperasi dengan logika tersebut. Mayoritas pekerja EOR dipekerjakan melalui Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang tunduk pada aturan rinci, termasuk durasi kontrak, pelaporan ke Kementerian Ketenagakerjaan, serta kewajiban kompensasi jika kontrak diakhiri lebih awal.

Ketika perusahaan mengabaikan struktur PKWT dan memperlakukan EOR layaknya tenaga kerja lepas, konsekuensi finansial sering kali baru disadari di akhir kontrak.

Aspek lain yang kerap diremehkan adalah biaya ketenagakerjaan di luar gaji. Di Indonesia, pemberi kerja wajib menanggung iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan dalam proporsi tertentu. Kontribusi ini dapat menambah beban biaya hingga dua digit persentase dari gaji bruto.

Perusahaan asing yang hanya membandingkan gaji bersih sering kali terkejut ketika menerima struktur biaya akhir dari EOR. Ketika perhitungan ini tidak dilakukan sejak awal, anggaran perekrutan menjadi tidak realistis.

Tidak semua penyedia EOR di Indonesia memiliki struktur dan perizinan yang memadai. Beberapa beroperasi melalui mitra informal atau entitas yang tidak memiliki klasifikasi usaha yang tepat. Dalam kondisi seperti ini, kontrak kerja dapat dipertanyakan keabsahannya, terutama jika terjadi audit atau sengketa.

Bagi perusahaan asing, kegagalan melakukan uji tuntas terhadap penyedia EOR merupakan kesalahan yang mahal. Legalitas penyedia, kemampuan pelaporan BPJS dan pajak, serta pemahaman regulasi lokal menjadi faktor krusial.

EOR sering kali paling efektif sebagai solusi masuk pasar jangka pendek hingga menengah. Namun, kesalahan strategis terjadi ketika EOR diperlakukan sebagai pengganti permanen pendirian entitas lokal. Jika perusahaan mulai membangun tim besar, menghasilkan pendapatan, dan menjalankan operasi berkelanjutan di Indonesia, otoritas pajak dapat menilai adanya Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Pada titik ini, perusahaan mungkin diwajibkan membentuk entitas lokal dan mematuhi rezim pajak korporasi Indonesia. Dengan kata lain, EOR adalah alat transisi, bukan tujuan akhir.

Kesalahan-kesalahan ini menunjukkan bahwa EOR seharusnya dipahami sebagai bagian dari strategi kepatuhan, bukan sekadar jalan pintas. Perusahaan yang berhasil memanfaatkan EOR biasanya adalah mereka yang memahami batasan hukum, menyesuaikan ekspektasi global dengan realitas lokal, dan menyiapkan rencana transisi yang jelas.

Dalam praktiknya, banyak perusahaan asing memilih berkonsultasi dengan penasihat lokal sebelum menentukan apakah EOR atau pendirian entitas merupakan langkah yang paling tepat. Firma seperti CPT Corporate kerap dirujuk sebagai pihak yang membantu perusahaan menilai struktur masuk pasar yang sesuai, baik melalui Employer of Record di Indonesia maupun melalui pendirian perusahaan (PT PMA) ketika skala bisnis mulai berkembang.

Employer of Record tetap menjadi alat yang efektif bagi perusahaan asing yang ingin bergerak cepat di Indonesia. Namun, efektivitas tersebut sangat bergantung pada pemahaman yang benar tentang hukum ketenagakerjaan, batasan outsourcing, dan kewajiban jangka panjang. Kesalahan dalam menggunakan EOR jarang terjadi karena niat buruk, melainkan karena asumsi bahwa sistem Indonesia serupa dengan yurisdiksi lain.

Bagi perusahaan yang mampu membaca EOR sebagai strategi yang terukur—bukan solusi instan—Indonesia tetap menawarkan peluang besar. Kuncinya bukan pada kecepatan semata, tetapi pada kesesuaian struktur dengan hukum yang berlaku.

banner 336x280

Press Release ini juga sudah tayang di VRITIMES

No More Posts Available.

No more pages to load.