
REPUBLIKA.CO.ID, Kriiinggg…terdengar bunyi panggilan video call pada telepon selular (ponsel) milik mantan anggota DPR RI Eka Santosa. Ternyata panggilan itu dari ponsel milik mantan Kepala Dusun Golempang, Desa Parigi, Kabupaten Pangandaran, Anda Suteja.
Keduanya memang saling kenal. Eka tercengang ketika Anda mengarahkan kamera ponselnya ke seorang gadis cantik. Kepada Eka, gadis cantik itu menyapa: Bapak masih emut ka abdi? Abdi putra bapak. (Bapak, masih ingat ke saya. Saya anak bapak.red)
Eka masih belum mengenal wajah cantik yang tampak di layar kameranya. Begitu gadis itu mengenalkan dirinya bernama Sarah Tsunami, Eka tercengang sontak berteriak kaget seraya menahan air mata. ‘’Anak bapak kumaha kabar na (anak bapak/saya, bagaimana kabarnya.red)’’.
Merekapun larut dalam haru walau hanya melalui video call. Peristiwa video call itu terjadi 9 September 2025. Eka berada di rumah tinggalnya, di Bandung. Sementara Sarah Tsunami berada di Parigi, Kabupaten Pangandaran.
Tidak puas dengan melepas kerinduannya melalui video call, Sarah menyampaikan akan menemui Eka Santosa yang sudah dianggap sebagai bapak angkatnya. Dan akhirnya mereka berjumpa di Alam Santosa, sebuah vila berkonsepkan adat Sunda yang terletak di Pasirimpun milik Eka Santosa, Rabu (10/9/2025).
Pertemuan antara anak dan bapak angkat merupakan momen yang biasa. Namun dalam kisah ini, proses pengakuan anak/bapak angkat antara Sarah dan Eka menjadi luar biasa. Peristiwanya berawal ketika tragedi tsunami yang melanda Pangandaran, Senin 17 Juli 2006 pukul 16.00 WIB.
Sarah lahir dari pasangan Bapak Utan dan Ibu Juarsih pada 16 Juli 2006 pukul 10.20 WIB. Ibu Juarsih yang tuna netra itu, melahirkan Sarah di rumahnya, di Dusun Golempang RT 01 RW 02, Desa Cilliang, Kecamatan Parigi, Kabupaten Ciamis (sekarang Kabupaten Pangandaran).
Karena faktor ekonomi, Utan hanya mampu memangggil seorang paraji atau dukun bersalin untuk membantu kelahiran Sarah. Sarah lebih dulu lahir beberapa menit sebelum paraji tiba di rumah Utan. Keberadaan paraji itu hanya sebatas membantu perawatan bayi hingga ke tahap disusui oleh Juarsih. Setelah kondisi dianggap normal, maka bayi bernama Sarah bersama ibunya sudah bisa ditinggal oleh paraji.
Keesokan harinya, Juarsih menyusui Sarah yang baru berusia 30 jam itu kaget dengan kegaduhan suara orang-orang yang berteriak ‘gempa’. Untuk menenangkan Juarsih, Utan sempat berkata bahwa itu gempa biasa. Catatan BMKG, gempa kala itu berkekuatan 7,7 skala ritcher.
Beberapa menit setelah Utan menenangkan Juarsih, rumah mereka tersapu gelombang tsunami, sehingga Sarahpun terlepas dari gendongan sang ibu. Situasi menjadi kacau, dan beberapa bangunan di sekitaran rumah Utan lulu lantah tergerus air laut Pangandaran dengan ketinggian 5-10 meter.
Catatan Republika menyebutkan, peristiwa tsunami Pangandaran menelan korban meninggal dunia 668 orang, 65 orang hilang (diasumsikan meninggal dunia), 9.299 orang mengalami luka-luka, dan menghancurkan ribuan rumah serta perahu.
Setelah sekian jam, airpun surut kembali ke laut. Yang terdengar hanya teriakan dan tangisan masyarakat, yang keluarganya hilang dan meninggal, berikut rumahnya yang rata disapu ombak tsunami. Dari sekian tangisan masyarakat, suara Juarsih-lah yang menarik perhatian Kepala Dusun Golempang Anda Suteja. Juarsih yang tidak bisa melihat itu menangis sambil mencari bayinya. Saat dihampiri Anda, Juarsih meminta tolong dicarikan anak keduanya yang masih berusia 30 jam.
Sebelumnya, Anda mendengar ada sejumlah jenazah bayi dan bayi yang masih hidup dibawa ke Puskesmas Parigi. Spontan Anda mengantar Juarsih ke Puskesmas Parigi, dengan menumpang di mobil patroli yang tengah mengangkut jenazah korban tsunami.
Sesampainya di Puskesmas Parigi, Juarsih dipersilahkan mengenali satu per satu bayi yang tergeletak. Insting ibu kerap tepat. Juarsihpun akhirnya menemukan bayinya setelah meraba tahi lalat pada kaki bayinya.
Kabar tentang pertemuan antara Juarsih dan bayinya itu sampai ke telinga Eka Santosa. Saat itu, Eka Santosa yang merupakan anggota DPR RI dari daerah pemilihan Jabar 10 (Kabupaten Ciamis dan Kuningan) tengah meninjau lokasi bencana tsunami Pangandaran.
Mendengar kabar soal Juarsih dan bayinya, Eka berinisiatif menemui ke Puskesmas Parigi. Eka diberi penjelasan oleh Anda dan masyarakat Pangandaran, bahwa bayi tersebut ditemukan bersatu dengan tumpukan sampah dengan berbalut pasir laut di seluruh tubuhnya, termasuk mata, mulut dan telinganya.
Jika bukan kehendak Allah SWT, kata Eka, tidak mungkin bayi ini masih hidup. Setelah membaca kondisi itu, terbersit dalam pikiran Eka bahwa Allah SWT tengah memberi kesempatan hidup kepada bayi tersebut.
‘’Jika Allah SWT saja memberi kesempatan hidup, maka saya sebagai mahluknya wajib membantunya,’’ ujar Eka mengisahkan pengalamannya saat 2006. Atas inisiatif pribadi, Eka membawa bayi tersebut ke rumah sakit dan rumah saudaranya di Kabupaten Ciamis untuk mendapatkan perawatan lebih layak.
Awalnya sang ibu (Juarsih) ragu dengan niat baik Eka. Setelah beberapa saat, akhirnya Juarsih mempercayai dan meminta Eka untuk memberi nama bayinya. Tercetuslah nama Sarah Tsunami dari mulut Eka untuk bayi tersebut.
Setelah kondisi mulai normal, Eka membawa Sarah bersama ibunya ke Bandung untuk mendapatkan perawatan yang lebih representatif, termasuk pengobatan mata Sarah di Rumah Sakit Cicendo Bandung. Selain faktor genetika, bola mata Sarah juga terluka karena sempat dipenuhi pasir Pantai Pangandaran.
Karena tidak ingin meninggalkan Pangandaran, Juarsih memohon izin ke Eka untuk kembali tinggal di Pangandaran. Ketika jadwal pengobatan, Juarsih dan Sarah beranjak ke Bandung. Hingga akhirnya Kabupaten Pangandarana memiliki RSUD yang dilengkapi dokter spesialis mata. Sarahpun tidak perlu lagi berobat ke Bandung.
Walau tidak lagi di Bandung, Eka tetap memberi pertolongan dan meminta adiknya yang merupakan pejabat di Pangandaran untuk memperhatikan Sarah. Sarah tumbuh besar di Pangandaran. Bersekolah normal di Pangandaran seperti anak-anak lainnya. Bersekolah SD, SMP, hingga lulus di pertengahan tahun 2025 dari SMKN 2 Pangandaran dengan nilai rata-rata di atas 8,5.
Komunikasi Eka dan Sarah sempat terputus sejak 2018, karena berbagai alasan, termasuk bergantinya nomor ponsel Eka dan Sarah. Seusai lulus dari SMKN 2 Pangandaran, Sarah bercita-cita ingin melanjutkan kuliah di perguruan tinggi.
Jika biaya sendiri, tentu tidak akan bisa melanjutkan ke jenjang kuliah mengingat penghasilan orang tuanya yang sangat minim. Ayah Sarah yang sudah berusia di atas 80 tahun tidak sanggup lagi menutupi kebutuhan kuliah, bahkan kebutuhan hidup. Begitupun dengan ibunya (Juarsih 59 tahun) hanya mampu bekerja sebagai tukang pijat ibu-ibu.
Di tengah ketidakmampuannya, Sarah kembali mencari bapak angkatnya, yakni Eka Santosa. Setelah berhasil berkomunikasi dengan Eka Santosa, Sarah menyampaikan cita-citanya untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi.
Mendengar permintaan dari anak angkatnya, Eka Santosa bertekad untuk memenuhi keinginan Sarah. Eka mencoba berkomunikasi dengan kawannya, yang kini menjadi Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Sc.agr. Yudi Nurul Ihsan, S.Pi., M.Si.
‘’Alhamdulillah, Sarah akan diterima di FPIK melalui jalur beasiswa. Terima kasih Unpad,’’ ujar Eka.
Eka menyampaikan banyak terima kasih kepada Unpad karena hendak menerima anak angkatnya untuk menjadi mahasiswa di tahun ajaran 2026-2027. Sarah baru bisa diterima tahun depan, mengingat saat ini proses pembelajaran tahun ajaran 2025-2026 sudah berjalan.
Masih dikatakan Eka, sosok Sarah Tsunami harus tetap mewarnai perjalanan Pangandaran sesuai cita-citanya sebagai daerah otonom. Dirinya meyakini betul, di balik selamatnya bayi berusia 30 jam itu, Allah SWT memiliki agenda besar untuk Pangandaran. ‘’Kami wajib memberi jalan untuk perjalanan Sarah Tsunami,’’ ujarnya.
Sementara pilihan berkuliah di jurusan kelautan sejalan dengan cita-cita Sarah. Sarah yang merupakan putri asal Pangandaran itu bercita-cita ingin memajukan daerahnya, yang kaya akan bahari. ‘’Saya ingin menjadikan Pangandaran lebih dari Bali,’’ ujar Sarah.