
Bandung, CNN Indonesia —
Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan terhadap terdakwa kasus kekerasan seksual, Priguna Anugrah Pratama, dalam sidang yang digelar pada Senin (27/10), di Pengadilan Negeri Bandung.
Sidang pembacaan tuntutan terhadap pelaku kekerasan yang semula dokter program PPDS di RSHS Bandung itu digelar secara tertutup.
Kasipenkum Kejati Jawa Barat, Sri Nurcahyawijaya, menyampaikan dalam tuntutannya jaksa menuntut pidana penjara selama 11 tahun terhadap terdakwa Priguna Anugrah Pratama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Selain hukuman penjara, terdakwa juga dituntut membayar denda sebesar Rp100 juta, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana penjara selama enam bulan,” katanya saat dihubungi.
Terdakwa Priguna dituntut berdasarkan Pasal 6 huruf c jo. Pasal 15 ayat (1) huruf b, huruf e, dan huruf j jo. Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Selain pidana pokok, jaksa juga menuntut pidana tambahan berupa kewajiban membayar restitusi kepada para korban berdasarkan perhitungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan nomor R-3632/4.1.IP/LPSK/06/2025 tertanggal 18 Juni 2025.
Total restitusi yang harus dibayar terdakwa mencapai Rp137.879.000.
Rinciannya, kepada korban FH sebesar Rp79.429.000, korban NK sebesar Rp49.810.000, dan korban FPA sebesar Rp8.640.000. Jika restitusi tidak dibayar, maka akan diganti dengan pidana penjara selama enam bulan.
Dalam tuntutannya, jaksa mempertimbangkan sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan.
Hal-hal yang memberatkan antara lain bahwa perbuatan terdakwa telah meresahkan masyarakat, merusak masa depan serta kehormatan para korban, dan menyebabkan trauma psikologis yang hingga kini masih dialami para korban.
“Selain itu, terdakwa sebagai seorang dokter dinilai telah menyalahgunakan profesinya yang seharusnya memberikan perlindungan dan rasa aman kepada pasien,” demikian tertulis dalam tuntutan jaksa.
Adapun hal-hal yang meringankan adalah terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya, telah melakukan perdamaian dengan salah satu korban dengan memberikan santunan sebesar Rp200 juta kepada korban FH, serta belum pernah dihukum sebelumnya.
Kasus pemerkosaan terhadap keluarga pasien hingga pasien oleh terdakwa itu terungkap pada awal Maret 2025.
Kala itu, FA yang sedang menjaga ayahnya (pasien RSHS), pada dini hari, diminta tersangka mengikutinya ke ruang IGD ke gedung MCHC lantai 7 di kompleks RSHS.
Setelah berada di lantai 7, korban diminta untuk berganti pakaian menggunakan operasi. Setelah itu, tersangka melakukan tindakan pembiusan terhadap korban. Tak lama setelah penindakan dengan cara penyuntikan, korban tak sadarkan diri.
Beberapa lama kemudian, tepatnya pada pukul 04.00 WIB, korban pun sadar. Ia kembali ke IGD RSHS. Namun saat korban hendak buang air kecil, ia merasakan sakit pada alat vitalnya.
Korban pun menceritakan tindakan yang dilakukan tersangka sebelum ia tak sadarkan diri, kepada ibunya.
Keluarga korban pun, merasa ada janggal dari rasa sakit yang dirasakan FH. Mereka akhirnya melaporkan apa yang menimpa anaknya itu kepada pihak kepolisian.
Setelah dilakukan pemeriksaan dan penyelidikan mendalam, akhirnya pada 23 Maret 2024, polisi mengamankan tersangka PAP.
Dan, kemudian terungkap bahwa FH bukan korban sendirian.
(csr/kid)














